Postingan

Ijazah

Gambar
Kita boleh percaya bahwa kebenaran akan selalu menemukan jalannya, tapi negeri ini mengajarkan bahwa jalan itu seringkali dibelokkan, harus melewati lorong hukum, berbelok ke prosedur, lalu menghilang dalam ruang-ruang sunyi kekuasaan. Di tengah semua itu, orang bertanya: Mana ijazah itu?   Pertanyaan itu sederhana. Bahkan terlampau sederhana hingga dianggap tidak penting. Tapi justru dalam kesederhanaannya, pertanyaan itu menyimpan luka. Luka dari rakyat yang merasa tidak diberi penjelasan, tidak diberi bukti, tidak diberi waktu untuk percaya dengan tenang.   Dan negara hanya diam. Meski berbagai klarifikasi dibuat. Oleh para petinggi kampus. Bahkan oleh tim kuasa hukum handal. Tapi tak satu pun dari semua itu yang benar-benar menjawab keinginan tulus dari rakyat biasa: Perlihatkan saja. Tunjukkan. Biar selesai.   Dalam Truth and Politics (1967) , Hannah Arendt menulis, “The result of a consistent and total substitution of lies for factual truth is not that the lie will...

Intelektual Ilusif

Gambar
Kisah Jesse dan Zibby dalam film berjudul Liberal Arts (2012) lebih dari sekedar dua persona yang berbeda secara gender, tapi mencerminkan dua dunia yang berbeda: antara dunia yang matang dan dunia yang masih tumbuh. Jesse, lelaki yang telah menua bersama buku-buku dan nostalgia kampusnya, bertemu Zibby, mahasiswi cerdas yang belum genap dua puluh. Di antara mereka, lahirlah percakapan: tentang puisi, musik klasik, dan hal-hal yang membuat hidup tampak lebih bernilai. Ada ketertarikan diantaranya. Sampai pada satu titik, saat Zibby mengundangnya tidur bersama, Jesse lalu menolaknya. Ia berkata pelan, "You’re smart and beautiful, but you’re also nineteen." Ia tahu, ada batas yang tak boleh dilangkahi, bahkan oleh cinta yang tampak sah. Karena tak semua yang bisa dilakukan, patut dilakukan. Sayangnya, di dunia nyata, tak semua Jesse memilih pergi. Di dunia kampus, tempat dimana ilmu selalu diasumsikan netral, di ruang-ruang kelas yang penuh dengan ajaran etik, sejarah tubuh, d...

Judi Online

Gambar
Ada yang bergetar samar dalam tubuh kekuasaan. Bukan debat di ruang sidang, bukan penolakan terhadap pasal yang timpang. Yang terdengar hanya suara digital: bling , bling , bling —dentang mesin slot virtual, sunyi namun presisi, berjalan di ponsel para legislator. Di layar mungil itulah, kuasa negara diam-diam bermain untung-untungan. PPATK menyebut angka: seribu lebih anggota DPR dan DPRD, dengan nilai transaksi mencapai Rp25 miliar. Tak ada satu pun undang-undang yang dilahirkan dari itu. Hanya deposit, withdrawal, dan harapan absurd akan keberuntungan. Mahkamah Kehormatan Dewan menyanggah: “Hanya dua orang,” katanya. Seolah yang sedikit tak berbahaya. Tapi kuasa, seperti kata Locke, tak diukur dari jumlah pelaku, melainkan dari sejauh apa ia menyimpang dari amanat rakyat. John Locke, dalam Two Treatises of Government , meletakkan negara pada kontrak sosial—kuasa politik berasal dari rakyat, dibatasi oleh hukum, untuk menjamin hak-hak kodrati manusia: hidup, kebebasan, dan milik. Ket...

Perang (Harga) Dunia Ke-III

Gambar
“History doesn’t repeat itself, but it often rhymes”,  kalimat lama kembali menggema, di tengah dunia yang terus bergerak dalam pusaran konflik, retorika populis, dan perlombaan ekonomi. Dunia mungkin tidak akan kembali tepat ke tahun 1998, saat Indonesia terpuruk dalam krisis moneter, namun gema dari hantu masa lalu itu kian terasa. Dan kini, salah satu pemicunya datang dari arah yang tak begitu asing: kebijakan ekonomi Donald J. Trump. Ketika Trump mengumumkan rencana menaikkan tarif impor sebesar 10 persen untuk semua produk dan 60 persen untuk produk dari Tiongkok, pasar global langsung menggeliat. Ini bukan gertakan biasa. Kebijakan itu, jika benar-benar diberlakukan, akan menciptakan gelombang baru dalam perang harga global, memperburuk rantai pasokan, dan meningkatkan biaya hidup di banyak negara—termasuk Indonesia. Tarif dalam dunia ekonomi ibarat pagar yang dipasang tinggi di tengah jalan raya perdagangan. Ia memaksa pelaku ekonomi untuk memutar arah, memilih rute baru, da...

Tanah Gaza

Gambar
Di antara puing-puing Gaza, di sela dentuman yang tak kunjung reda, tersimpan satu pertanyaan yang mengendap di lorong nurani dunia: ke mana mereka harus pulang, jika rumah telah rata, dan bumi seperti menolak tubuh mereka? Indonesia tiba-tiba hadir dalam perbincangan global: Presiden Prabowo mengusulkan evakuasi sementara seribu warga Gaza—anak-anak yatim dan korban luka—ke tanah air ini. Sebuah isyarat kemanusiaan, dikemas sebagai tindakan darurat. Tapi justru di situlah gelombang sunyi mulai bergetar. Sebagian suara publik pun menolak. Bukan kaleng-kaleng, mereka para petinggi ormas Islam Indonesia. Bukan karena mereka tak peduli, tapi karena terlalu mencintai Palestina. Karena bagi mereka, tanah itu tak boleh dikosongkan, meski oleh nyawa yang luka. Relokasi, walau katanya sementara, bisa dibaca sebagai pemutihan kejahatan yang lebih besar: pembuangan paksa yang disulap jadi penyelamatan. Dan di dunia hari ini, siapa yang bisa menjamin bahwa “sementara” tak akan menjelma jadi “sela...

Tubuh Perempuan

Gambar
  Di sebuah negeri yang katanya menjunjung adab ketimuran, seorang perempuan dicaci—bukan karena kebohongan, bukan karena kejahatan, tapi karena rahimnya. Kita menyaksikan, sekali lagi, bagaimana tubuh perempuan bukan miliknya. Ia adalah milik tafsir orang lain. Ia adalah milik negara, milik norma, milik bahasa yang sejak mula dirangkai oleh lidah-lidah lelaki. Ketika seorang perempuan diserang dengan kata “mandul,” kita tidak hanya menyaksikan hinaan, melainkan sebuah ingatan yang jauh, yang menggema dari peradaban lama, yang tak pernah benar-benar berlalu—di mana perempuan diukur dari fungsi reproduksi, seakan rahim adalah legitimasi kemanusiaan. Saya membaca berita itu dengan diam. Bukan karena tak marah. Tapi karena ini bukan hal baru. Ini hanya satu sobekan kecil dari gulungan kertas usang yang kita sebut sejarah. “Mandul” bukan sekadar kata. Ia adalah tanda. Ia menunjukkan sebuah pandangan dunia yang masih hidup dan bersuara. Pandangan yang menaruh kehormatan perempuan bukan ...

"Liyan" Di Tanah Raja-Raja

Gambar
  Konflik itu datang lagi. Tak seperti ombak yang membawa garam ke daratan, tak seperti angin laut yang menyapu lembut dinding rumah. Ia datang dengan bedil dan tebasan parang, dengan amarah yang tak lagi bisa disimpan di dalam dada. Di Langgur, di Sawai, di Tulehu dan Tial. Tanah yang bertaut sejarah panjang perdagangan dan perjumpaan, hari ini kembali terguncang oleh sesuatu yang lebih purba dari kapal-kapal dagang yang dulu singgah: prasangka!   Ketika orang-orang berhadapan dalam amarah, jarak antara satu dengan lainnya mengecil. Bukan karena kedekatan, melainkan karena batasan menjadi lebih tegas. Ada aku, dan ada dia, atau  Liyan —yang bukan bagian dari diri ini, yang jika perlu, harus dilawan, ditundukkan, dikalahkan.   Sialnya, kita senantiasa membayangkan dunia dalam bentuk oposisi biner; antara hitam dan putih, antara sahabat dan musuh. Padahal, sejarah Maluku adalah sejarah silang budaya, silang rasa, dan silang hidup. Pelaut yang datang dari jauh singgah ...