Kekerasan Semalam dan Karnaval Kemerdekaan

Tanggal 30 Agustus 2025, Jakarta dan sejumlah kota besar Indonesia terbakar oleh amarah. Ribuan demonstran turun ke jalan, mengusung tuntutan yang kian hari kian membesar. Malamnya, kerusuhan pecah. Api menyala di hampir setiap pos polisi. Kepulan asap, suara sirene, dan retak kaca gedung menjadi saksi bahwa negara sedang berada di ambang krisis. Kekerasan berlangsung vulgar, terang-terangan, brutal.

Namun, keesokan harinya, 31 Agustus, lanskap sosial berubah seketika. Di Jakarta, Surabaya, Malang, bahkan hingga wilayah kampung-kampung, jalan-jalan dipenuhi warga. Lalu lintas riuh rendah oleh derap langkah jalan sehat, hiasan merah putih, bazar rakyat, dan selfie berjamaah. Suasana penuh euforia, seolah 24 jam sebelumnya tidak pernah ada luka. Tempo kerusuhan seketika berganti ritme karnaval.

Fenomena kontras inilah yang menuntut pembacaan kritis. Bagaimana mungkin masyarakat dengan begitu cepat berpindah dari tragedi ke pesta, dari bara api ke bendera?

Hannah Arendt, dalam pengamatannya atas pengadilan Eichmann, menyebut istilah banality of evil. Baginya, kejahatan tidak selalu lahir dari kebencian yang menggelegak atau ambisi yang luar biasa, melainkan justru dari kepatuhan buta, pengulangan, dan kebiasaan yang dianggap biasa-biasa saja. Kekerasan menjadi banal ketika ia tidak lagi menimbulkan keterkejutan moral.

Apa yang terlihat dua hari ini seakan mencerminkan teori itu. Malam penuh kerusuhan, pos polisi dibakar, aparat berlarian, dan warga ketakutan. Namun besoknya, panggung musik, bazar UMKM, dan fun walk seakan menyapu habis ingatan tentang keganasan. Kekerasan diperlakukan sebagai interupsi kecil dalam rutinitas, bukan sebagai krisis etis yang seharusnya mengguncang kesadaran publik.

Antara Tragedi dan Karnaval

Portal-portal berita lokal menampilkan wajah ganda negeri ini. Dari Tempo kita membaca laporan tentang demonstrasi yang berujung ricuh. Dari media Surabaya, Malang, hingga Jakarta, kita membaca kemeriahan jalan sehat, pesta rakyat, dan karnaval merah putih. Dua narasi berdampingan, tetapi jarang dipertemukan: luka dan tawa, duka dan euforia.

Kontras itu menimbulkan pertanyaan filosofis: apakah bangsa ini memiliki daya reflektif terhadap kekerasan, ataukah kita telah terbiasa hidup di bawah bayang-bayang tragedi sehingga setiap kali bara api muncul, kita memilih berbelok cepat menuju panggung pesta?

Kebiasaan melupakan ini menciptakan ruang di mana kekerasan dianggap sebagai latar, bukan peristiwa utama. Demonstrasi, kerusuhan, pembakaran pos polisi—semuanya berakhir sebagai catatan pinggir dalam ingatan kolektif, ditutupi oleh riuh tepuk tangan dan obral hadiah sepeda listrik.

Arendt menyebut inilah inti dari banalitas: ketika tindak kejam berhenti menjadi kejadian luar biasa dan justru dihadirkan sebagai sesuatu yang lumrah, rutinitas, bahkan boleh jadi “bagian dari perayaan”.

Dua Asumsi

Dari rangkaian peristiwa ini, kita dihadapkan pada dua kemungkinan. Pertama, bahwa warga negara ini memang sudah sebanal itu dengan kekerasan—kita menertawakan pesta setelah semalam membiarkan bara api membakar sendi kota. Kedua, bahwa kekerasan itu sendiri hanyalah sebuah panggung buatan, fabricated, direkayasa sedemikian rupa sehingga keesokan harinya bisa ditepis begitu saja.

Hanya ada satu kebenaran dari dua posibility di atas: entah kita sudah sepenuhnya jinak dalam banalitas, atau kita sedang menjadi penonton dari sebuah panggung yang dirancang??

Komentar