Perang (Harga) Dunia Ke-III
“History doesn’t repeat itself, but it often rhymes”, kalimat lama kembali menggema, di tengah dunia yang terus bergerak dalam pusaran konflik, retorika populis, dan perlombaan ekonomi. Dunia mungkin tidak akan kembali tepat ke tahun 1998, saat Indonesia terpuruk dalam krisis moneter, namun gema dari hantu masa lalu itu kian terasa. Dan kini, salah satu pemicunya datang dari arah yang tak begitu asing: kebijakan ekonomi Donald J. Trump.
Ketika Trump mengumumkan rencana menaikkan tarif impor sebesar 10 persen untuk semua produk dan 60 persen untuk produk dari Tiongkok, pasar global langsung menggeliat. Ini bukan gertakan biasa. Kebijakan itu, jika benar-benar diberlakukan, akan menciptakan gelombang baru dalam perang harga global, memperburuk rantai pasokan, dan meningkatkan biaya hidup di banyak negara—termasuk Indonesia.
Tarif dalam dunia ekonomi ibarat pagar yang dipasang tinggi di tengah jalan raya perdagangan. Ia memaksa pelaku ekonomi untuk memutar arah, memilih rute baru, dan menanggung biaya lebih tinggi. Bila itu hanya terjadi di satu negara, dampaknya mungkin bisa ditoleransi. Tapi bila sang “polisi jalan raya” adalah Amerika Serikat—pengendali lalu lintas ekonomi dunia—maka gangguan kecil pun bisa berubah menjadi macet total.
Data dari Kompas (2024) menunjukkan, kebijakan tarif Trump dapat menurunkan perdagangan pertanian global hingga 4,7 persen dan menggerus PDB dunia hingga 0,4 persen. Itu baru dari sektor pangan saja. Padahal, krisis global seperti tahun 2008 membuktikan bahwa pukulan pada sektor primer seringkali berdampak sistemik ke sektor-sektor lainnya: industri, jasa, bahkan sektor informal.
Bukan hanya soal ekonomi. Perang tarif juga menandai perang ideologi: proteksionisme versus globalisasi. Dunia yang selama dua dekade terakhir dibangun atas semangat keterbukaan pasar kini berhadapan lagi dengan dinding-dinding ekonomi baru. Aliansi dagang mulai renggang, negara-negara mulai menyimpan stok sendiri, dan agenda nasionalisme ekonomi naik daun. Inilah yang menjadi akar dari hantu krisis baru—dunia yang tak lagi saling percaya.
Indonesia di Simpang Jalan
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Sebagai negara berkembang yang masih bergantung pada impor pangan, energi, dan bahan baku industri, Indonesia sangat rentan terhadap guncangan eksternal. Nilai tukar rupiah yang labil, cadangan devisa yang tergerus, serta defisit neraca perdagangan bisa menjadi gejala awal dari tekanan yang lebih besar.
Pemerintah memang telah menyiapkan beberapa strategi mitigasi: memperkuat cadangan pangan, mendorong swasembada, dan membuka pasar ekspor baru. Tapi benarkah semua itu cukup? Data Proyeksi Neraca Pangan 2025 menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap impor seperti kedelai, gandum, susu, bahkan daging, masih tinggi. Jika harga internasional naik karena perang tarif, maka tekanan domestik akan meningkat. Dan seperti tahun 1998, krisis pangan sering menjadi pemantik krisis sosial.
Apalagi dalam konteks geopolitik saat ini, Indonesia juga tidak bisa hanya bergantung pada satu kutub dagang. Jika dulu kita terjerat oleh utang luar negeri dari IMF, kini jebakan bisa datang dari ketergantungan pada dua raksasa dagang yang saling berseteru: Amerika Serikat dan Tiongkok. Keduanya adalah mitra dagang utama Indonesia, dan perang antara keduanya bisa menyeret kita masuk ke medan krisis yang sama sekali bukan buatan kita.
Perang harga bukan hanya soal tarif dan angka-angka neraca. Ia merembes ke kehidupan sehari-hari: harga beras yang naik, ongkos kirim logistik yang membengkak, daya beli yang menurun, hingga ketimpangan sosial yang melebar. Ketika krisis ekonomi datang, yang pertama kali terkena adalah rakyat kecil. Mereka yang gajinya tetap tapi harga barang naik. Mereka yang bekerja di sektor informal tanpa jaminan apa-apa. Mereka yang diam-diam meminjam dari pinjol untuk beli susu anaknya.
Ini yang membuat krisis modern lebih rumit. Ia bukan sekadar runtuhnya bank seperti 2008, atau kolapsnya rupiah seperti 1998. Ia adalah krisis psikologis, krisis kepercayaan, bahkan krisis moral. Di tengah dunia yang makin terkoneksi secara digital, ketakutan menyebar lebih cepat daripada virus. Panic buying, rush ke bank, hoaks ekonomi—semuanya bisa menyulut ledakan, bahkan tanpa adanya krisis nyata.
Sejarah mengajarkan bahwa setiap krisis adalah ujian bagi kualitas kepemimpinan. Tahun 1998 adalah ujian terbesar bagi Orde Baru yang akhirnya tumbang. Tahun 2025 bisa menjadi ujian besar bagi pemerintahan pasca-Jokowi, apakah mampu mengelola badai global yang makin kompleks ini atau justru terjebak dalam retorika populis tanpa solusi nyata.
Dibutuhkan kedewasaan politik untuk menghindari jebakan krisis. Bukan dengan saling menyalahkan, tapi dengan membangun konsensus nasional yang kuat: bahwa ketahanan pangan, energi, dan ekonomi digital bukan hanya isu kementerian, tapi soal masa depan bangsa. Pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat sipil harus bergandengan tangan, karena ancaman krisis global tidak bisa dihadapi oleh satu pihak saja.
Indonesia perlu mengubah narasi pembangunan dari sekadar pertumbuhan (growth) menjadi ketangguhan (resilience). Bukan lagi siapa yang paling cepat tumbuh, tapi siapa yang paling tahan ketika badai datang. Dan ketahanan itu tidak datang dari angka-angka di presentasi, tapi dari pondasi yang kokoh: diversifikasi ekonomi, pendidikan yang adaptif, ketahanan pangan, serta kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Belajar dari Bayang-Bayang Krisis Masa Silam
Perang tarif yang digagas Trump bukan sekadar kebijakan ekonomi. Ia adalah cerminan dari dunia yang kembali diliputi ketakutan: ketakutan kehilangan dominasi, kehilangan pasar, kehilangan arah. Padahal, We cannot direct the wind, but we can adjust the sails, bahwa “kita tidak akan bisa mengendalikan angin, tapi bisa menyesuaikan layar.”
Artinya, krisis global mungkin tak bisa kita cegah sepenuhnya, tapi Indonesia bisa belajar dari masa lalu untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Jika tahun 1998 menjadi titik terendah bangsa ini, maka tahun-tahun ke depan bisa menjadi pembuktian bahwa kita telah tumbuh, bukan hanya dalam angka, tapi dalam kedewasaan menghadapi dunia yang tak menentu.
Komentar
Posting Komentar