Ijazah
Kita boleh percaya bahwa kebenaran akan selalu menemukan jalannya, tapi negeri ini mengajarkan bahwa jalan itu seringkali dibelokkan, harus melewati lorong hukum, berbelok ke prosedur, lalu menghilang dalam ruang-ruang sunyi kekuasaan. Di tengah semua itu, orang bertanya: Mana ijazah itu?
Pertanyaan itu sederhana. Bahkan terlampau sederhana hingga dianggap tidak penting. Tapi justru dalam kesederhanaannya, pertanyaan itu menyimpan luka. Luka dari rakyat yang merasa tidak diberi penjelasan, tidak diberi bukti, tidak diberi waktu untuk percaya dengan tenang.
Dan negara hanya diam. Meski berbagai klarifikasi dibuat. Oleh para petinggi kampus. Bahkan oleh tim kuasa hukum handal. Tapi tak satu pun dari semua itu yang benar-benar menjawab keinginan tulus dari rakyat biasa: Perlihatkan saja. Tunjukkan. Biar selesai.
Dalam Truth and Politics (1967), Hannah Arendt menulis, “The result of a consistent and total substitution of lies for factual truth is not that the lie will now be accepted as truth, and truth be defamed as a lie, but that the sense by which we take our bearings in the real world— and the category of truth versus falsehood is among the mental means to this end— is being destroyed.” Dalam politik, kebenaran adalah perkara yang rawan, dan menjadi medan di mana fakta bisa dibungkam oleh narasi. Bahkan fakta kerap menjadi korban pertama dalam politik. Meskipun kebenaran tidak akan dicemarkan sebagai kebohongan, melainkan fakultas akal kitalah yang sedang dihancurkan, begitu arti bebasnya.
Maka pertanyaan tentang ijazah, seperti nasib banyak kebenaran lain, berjalan tertatih-tatih. Ia dicurigai sebagai serangan politik. Dituduh sebagai hoaks. Dianggap tidak penting. Tapi siapa yang bisa mengatakan mana yang penting ketika negara hanya menjawab dengan prosedur?
Hukum di Indonesia adalah sistem yang sangat memahami bahasa kuasa. Ia tak sekadar menegakkan keadilan; ia memilih kepada siapa keadilan itu diberikan. Kita melihat bagaimana Mahkamah Konstitusi mengubah batas usia calon pemimpin negara—tepat saat anak presiden masuk gelanggang pemilu. Ketua Mahkamah saat itu adalah ipar presiden sendiri. Kita juga melihat bagaimana kasus dugaan ijazah palsu tak pernah sampai ke pengadilan substansi. Gugatan demi gugatan ditolak dengan alasan formal: penggugat tidak punya legal standing, objek gugatan tidak jelas, tidak termasuk yurisdiksi pengadilan umum. Maka, proses pembuktian tidak pernah terjadi. Tak ada panggilan bagi presiden. Tak ada permintaan resmi untuk menunjukkan dokumen.
Apakah ini salah prosedur? Tidak. Tapi inilah masalahnya: prosedur telah menjadi tameng. Dalam sistem hukum yang dikuasai oleh kepentingan politik dan keluarga, keadilan bukan tentang membuktikan benar atau salah, tapi tentang siapa yang cukup kuat untuk tidak harus membuktikan apa pun.
Immanuel Kant dengan imperatif kategorisnya secara eksplisit mengatakan bahwa kejujuran adalah kewajiban moral universal. Bersikap jujur bukan karena takut tertangkap bohong, melainkan karena itu adalah hal yang benar untuk dilakukan (Groundwork of the Metaphysics of Morals, 1785).
Saya membayangkan seorang pemimpin yang tidak diminta pun akan menunjukkan dirinya. Ia tahu bahwa kepercayaan tidak datang dari janji, tapi dari keterbukaan. Ia tahu bahwa rakyat tidak bisa dipaksa percaya dengan cara dilaporkan ke pengadilan. Kepercayaan hanya tumbuh dari sikap yang tidak takut untuk diperiksa.
Sayangnya, kita hidup dalam zaman ketika kejujuran adalah komoditas yang dinegosiasikan. Bukan prinsip, tapi strategi. Negara tidak merasa perlu menjelaskan karena tidak ada “kekuatan hukum yang memaksa”. Dan selama pengadilan diam, maka negara pun diam.
Saya kira, inilah tragedi dari zaman post-truth di negeri ini. Di masa lalu, kita mencari fakta untuk meyakinkan hati. Hari ini, kita mencari fakta hanya jika sesuai dengan perasaan. Maka orang yang mencurigai ijazah sang mantan presiden akan terus mencurigainya, walau berbagai pihak telah banyak bicara membela. Yang curiga akan tetap curiga, sang pembela akan tetap membela, walau tak satu pun dokumen asli pernah ditampilkan secara terbuka.
Dalam kekacauan itu, yang hilang bukan sekadar kebenaran, tetapi niat jujur untuk berkata benar. Sebagian orang boleh berkata, "Ah, itu kan cuma ijazah. Apa pentingnya?” Tapi sadarkah bahwa pertanyaan itu seperti mengabaikan seluruh fondasi dari republik ini. Republik yang dibangun dari kepercayaan, dan kepercayaan yang tumbuh dari kejujuran?!
Jika seorang mantan presiden merasa tak perlu menunjukkan ijazahnya, bagaimana kita bisa berharap ia berlaku jujur dalam perkara yang lebih besar? Ini bukan tuduhan, hanya sebuah pertanyaan sederhana. Tapi jika pertanyaan semacam ini dianggap ancaman, maka di manakah lagi kebebasan bisa bernaung? Betapa getir zaman ketika sekadar bertanya pun terasa subversif.
Ada yang bilang, “Kalau kalian curiga, buktikan di pengadilan!” Tapi bukankah gugatan sudah diajukan? Dan bukankah pengadilan menolak membahas substansi? Maka rakyat hanya bisa bertanya, tapi tak bisa menyelidiki. Hukum menjauhkan rakyat dari jawabannya sendiri.
Barangkali inilah yang dimaksud oleh sosiolog Zygmunt Bauman dalam Liquid Modernity (2000), “Forms, once solid, are melting. Certainties, once taken for granted, are being questioned. There are no permanent bonds—and any that we take up for a time must be tied loosely so that they can be untied again as quickly and as effortlessly as possible.” Segalanya mengalir, tak pasti, tak ada tempat berpijak. Hukum ada, tapi mengambang. Fakta ada, tapi tak bisa disentuh. Negara ada, tapi tak bisa dipanggil.
Tulisan ini sendiri bukanlah ungkapan hasrat ingin tahu di mana ijazah itu. Tulisan ini justru ingin tahu, di mana negara itu? Mengapa ia sembunyi? Mengapa ia menjawab dengan tangan formal, bukan dengan dada terbuka?
Atau mungkin karena negara tahu, menunjukkan ijazah adalah membongkar bukan hanya arsip, tapi juga cara ia menjaga kekuasaan. Mungkin karena negara tidak siap dilihat telanjang. Atau mungkin, negara memang bukan lagi milik kita.
Di zaman yang penuh distorsi ini, kita tak selalu tahu siapa yang benar. Tapi kita tahu siapa yang berani membuka dirinya, dan siapa yang terus bersembunyi. Dan mungkin, itu saja sudah cukup sebagai petunjuk. Karena republik yang baik bukanlah yang menang perkara. Tapi yang tidak takut diperiksa. Dan jika suatu saat sejarah bertanya, “Mengapa rakyat kalian kehilangan kepercayaan?”, barangkali jawabannya sederhana: “Karena saat rakyat bertanya dengan jujur, negara memilih untuk diam.”
Benarlah pandangan Heidegger, bahwa the essence of truth is freedom. Kebenaran bukanlah sesuatu yang dibuktikan, tetapi sesuatu yang dalam istilah Yunani Kuno disebut aletheia yang berarti penyingkapan. Artinya, kebenaran memang tidak butuh dibela. Ia hanya butuh disingkap!
Komentar
Posting Komentar